Beranda | Artikel
Hukum Memanfaatkan Jasa Dan Produk Orang Kafir
Minggu, 8 Juli 2018

HUKUM MEMANFAATKAN JASA DAN PRODUK ORANG KAFIR

Oleh
Ustadz Muhammad Ashim Lc

Sesungguhnya Islam memberikan ruang toleransi dalam soal seorang Muslim mengambil manfaat dari orang non-Muslim dalam bidang ilmu Kimia, Fisika, Ilmu Falak, Kedokteran, Industri, pertanian dan ilmu-ilmu manejemen dan ilmu-ilmu lain yang serupa.  Toleransi ini dibuka ketika belum ada sumber-sumber penguasaan ilmu-ilmu tersebut dari seorang Muslim yang bertakwa.

Begitu pula, boleh saja memanfaatkan orang-orang kafir sebagai penunjuk jalan dan memanfaatkan produk senjata, kain dan lain-lain yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dalam hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan orang Muslim dan kafir saling mengambil manfaat dari pihak lainnya.

Akan tetapi, Islam benar-benar tidak memperbolehkan seorang Muslim mengambil sesuatu yang berhubungan dengan aqidah atau pembentuk pandangannya, penafsiran al-Qur`an atau penjelas Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , metode penulisan sejarah, hukum politik atau sumber-sumber adabnya dari orang-orang yang tidak beriman dengan Islam.

Orang-orang telah berbuat benar ketika mereka mengalihbahasakan buku-buku tentang kedokteran dan kimia. Karena telah mendorong umat Islam untuk menemukan ilmu-ilmu baru seperti aljabar. Kecerdasan umat Islam yang bercahaya dengan cahaya dari wahyu Allâh mampu menciptakan hal-hal baru dan menghasilkan penemuan baru dalam bidang keilmuan dengan seluruh jenisnya dan dalam bidang sastra dan peradaban.

Keberhasilan menemukan hal-hal baru dalam bidang keilmuan ini dikarenakan umat Islam mempunyai prinsip-prinsip dalam aqidah dan konsekuensinya yang memotivasi mereka untuk terus berusaha dengan penuh keseriusan dan kesabaran. Dan mereka menyadari jerih-payah itu termasuk ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Pasalnya, manfaat yang mereka raih tidak hanya dinikmati oleh mereka sendiri saja, akan tetapi menyebar kepada umat manusia secara keseluruhan, sampai-sampai bangsa Eropa kafir dalam beberapa kurun waktu yang lama berpijak pada teori-teori dalam ajaran Islam dan hasil-hasil riset yang ditemukan oleh kaum Muslimin. Dan penemuan-penemuan ilmiah yang baru tersebut berpengaruh pada kemajuan keilmuan yang dicapai oleh bangsa Eropa pada masa kini, setelah kaum Muslimin terbuai dalam tidurnya dan meninggalkan peran kepemimpinan dan kekuasaan dalam segala hal, hingga datanglah generasi yang kita saksikan hari ini. Generasi yang berpangku tangan kepada murid-murid kakek moyang mereka dahulu.!.

Oleh sebab itu, kami katakan, “Kita bergembira dengan tersebarnya kebaikan, dikarenakan penyebaran Islam hari ini ada di setiap tempat. Sungguh sepatutnya kaum Muslimin mengetahui apa yang seharusnya mereka ambil dari non-Muslim untuk mereka manfaatkan dan apa yang harus mereka tinggalkan dari orang-orang non-Muslim supaya tidak terjerumus dalam kesalahan sebagaimana dialami oleh generasi sebelumnya.

Maka, sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk menjadikan aqidah Islam sebagai pedoman utama untuk membangun bangunan Islam  kembali yang baik, lalu mengimpor dari non Muslim apa-apa yang tidak mereka miliki dalam ilmu alam, dan impor ilmu-ilmu tetap dilakukan dengan cerdas dan penuh kehati-hatian, dengan mengemas ilmu-ilmu tersebut dengan kemasan ilmiah lagi Islami yang bebas dari pengaruh orang-orang atheis.”

Mungkin saja ada yang berkomentar, “Apakah pengaruh metodologi ilmu alam dalam ajaran agama Islam?”. Jawabannya, “Bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi antara ajaran agama dan pengetahuan ilmiah. Bahkan ajaran Islam adalah agama ilmu, dan pengemasan metodologi ilmiah melalui pijakan Islam yang shahih akan menanamkan keimanan mendalam dalam jiwa terhadap kekuasaan Allâh Azza wa Jalla al-Khaliq, keagungan dan kehebatan ciptaan-Nya di alam semesta ini dengan segala makhluk ciptaan yang ada di dalamnya.”

Kemudian sanggahan seperti itu salah besar, sebab meskipun orang-orang mengaku-aku obyektif dalam menggunakan metodologi ilmiah, tetap saja mereka yang mengadopsi teori Marx atau Freud pada teori apapun, kemasan yang mereka suguhkan tidak bisa serupa dengan orang-orang Islam dengan kemampuan yang sama, namun berpegangan dengan lâ ilâha illallâh dari risalah kenabian Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ini realita yang tampak jelas, tidak mungkin diingkari kecuali orang-orang yang sombong atau orang-orang bodoh yang tidak tahu kebodohan dirinya.

Dalil-dalil tentang bolehnya memanfaatkan orang kafir, bisa kita jumpai dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dan imam-imam lainnya dalam Kitabu al-Ijarah bab Menyewa Kaum Musyrikin Saat Kondisi Darurat Atau Tidak Ada Ditemukan Orang Islam (yang mampu melakukannya).

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu anhu menyewa seseorang menjadi penunjuk jalan yang menguasai arah dari suku Bani an-Dayyil, kemudian dari suku Bani Abd bin ‘Adi. Ia seorang yang masih mengikuti ajaran kafir Quraisy. Lalu mereka berdua menyodorkan tunggangan mereka kepadanya, dan memintanya menemui mereka di Goa Tsaur tiga malam kemudian. Lelaki itu pun datang menemui mereka pada pagi harinya. Kemudian mereka berdua berangkat (ke Madinah).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nama lelaki itu Abdullah bin Uraiqith ad-Duali.  Dan saat disewa sebagai penunjuk jalan ia masih seorang kafir. Di sini terdapat dalil bolehnya bersandar kepada orang kafir dalam masalah kedokteran, obat-obatan, hisab dan penyakit-penyakit dan lain sebagainya, selama tidak menyerahkan kepemimpinan (atas kaum Muslimin) kepada mereka, (karena seorang pemimpin-red) harus memiliki sifat ‘adâlah (maksudnya Muslim) dan tidak mesti orang yang kafir itu tidak bisa dipercaya sama sekali. Sebab tidak ada sesuatu yang lebih beresiko daripada menjadikannya penunjuk jalan, apalagi jalan menuju hijrah”.[1]

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Kebanyakan ahli fiqih memperbolehkan menyewa mereka (kaum musyrikin) saat keadaan terpaksa dan keadaan lainnya, sebab hal itu akan menjadikan mereka merasa terhina. Yang terlarang ialah seorang Muslim menyewakan dirinya kepada orang musyrik, karena di situ ada unsur penghinaan terhadap seorang Muslim.[2] Akan tetapi apa hukum seorang Muslim menyewakan dirinya kepada seorang kafir? Jawabnya, riwayat dari al-Bukhari juga dari Khabbab Radhiyallahu anhu, “Aku dahulu seorang lelaki…, lalu aku bekerja kepada al-Ash bin Wail. Maka, terkumpullah upahku padanya. Lalu aku datangi dia untuk aku minta memenuhinya. Ia justru berkata, “Tidak, demi Allâh. Aku tidak akan membayarmu sampai kamu mau mengkufuri Muhammad”. Maka aku menjawab, “Demi Allâh, sampai kamu mati dan nanti dibangkitkan, aku tetap tidak mau (kufur kepadanya)”. Ia malah bertanya, “Apakah aku benar akan mati dan lalu dibangkitkan?”. Aku menjawab, “Benar”. Ia berkata, “Nanti kalau aku punya kekayaan dan anak, aku akan bayar kamu”. Maka Allâh Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya:

أَفَرَأَيْتَ الَّذِي كَفَرَ بِآيَاتِنَا وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالًا وَوَلَدًا

Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan: “Pasti aku akan diberi harta dan anak.” [Maryam/19:77]

Al-Muhallab berkata, “Ulama memandang hal itu  makruh, yaitu seorang Muslim menyewakan dirinya kepada orang musyrik di medan perang, kecuali dalam kondisi darurat, dengan dua syarat: pekerjaannya halal dilakukan seorang Muslim. Dan syarat lainnya, ia tidak membantu orang musyrik dalam hal-hal yang mendatangkan madharat bagi kaum Muslimin.

Adapun menyewa mereka dalam peperangan, sudah ada larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam hadits  yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Badr. Ketika sampai di Harrah al-Wabirah, ada seorang lelaki menyusul Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lelaki itu dikenal dengan keberanian dan pertolongannya. Maka bergembiralah para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala melihatnya. Ketika berhasil menyusul Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku datang untuk mengikutimu dan memperoleh  sesuatu bersamamu”. Beliau bertanya, “Apakah engkau beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya?”. Ia menjawab, “Tidak”.  Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembalilah. Aku tidak akan meminta tolong kepada orang musyrik”. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan perjalanan. Dan sesampainya di satu pohon, lelaki itu menemui Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (kembali), lalu ia mengatakan seperti yang ia katakan sebelumnya. Maka Nabi berkata kepadanya seperti sabda Beliau sebelumnya, “Kembalilah. Aku tidak akan meminta tolong kepada orang musyrik”. Kemudian ia datang lagi dan menjumpai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Baida, lalu Beliau berkata kepadanya seperti sabda Beliau pertama kali, “Apakah engkau beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya?”. Ia menjawab, “Ya” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,“Ayo, berjalanlah engkau”. [3]

Namun, al-Hazimi rahimahullah mengatakan, “Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian Ulama memandang bahwa meminta pertolongan kepada kaum musyrikin secara mutlak terlarang. Mereka berargumentasi dengan teks hadits. Mereka berkata,”Ini adalah hadits yang benar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada hadits lain yang sekuat dan sevalid ini, sehingga tidak dibenarkan adanya naskh untuk hukum ini.

Sejumlah Ulama lainnya berpendapat bahwa penguasa berhak mengizinkan orang-orang musyrikin untuk berperang membantu kaum Muslimin, dengan dua syarat:

  1. Kaum Muslimin berjumlah sedikit dan ada kebutuhan mendesak untuk meminta bantuan dari orang musyrik.
  2. Orang-orang musyrik ini tersebut dapat dipercaya.

Apabila dua syarat ini tidak terpenuhi, maka penguasa tidak boleh meminta bantuan dari mereka. Namun bila dua syarat terpenuhi, maka boleh meminta bantuan kepada mereka. Mereka berargumentasi dengan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan orang-orang Yahudi dari Bani Qainuqa’ dan meminta bantuan Shafwan bin Umayyah dalam memerangi suku Hawazin pada Perang Hunain. Para Ulama itu mengatakan, “Ada keharusan untuk merujuk  hukum ini karena hadits Aisyah x terjadi pada Perang Badar, yang terjadi sebelumnya, sehingga hukumnya mansukh (diganti).  Kemudian mengatakan, “Tidak masalah meminta bantuan kaum musyrikin untuk memerangi kaum musyrikin lainnya, bila mereka mau membantu dengan sukarela tanpa menuntut bagian (rampasan perang)”.

Ibnul Qayyim rahimahullah mendukung pandangan ini, tatkala membicarakan tentang beberapa dampak positif dari Perdamaian Hudaibiyah dengan mengatakan, “Meminta bantuan kepada orang-orang musyrikin yang dapat dipercaya dalam jihad (peperangan) boleh saat dibutuhkan. Sebab, mata-mata Beliau yang berasal dari orang Khuza`ah, adalah orang kafir pada waktu itu. Dan ada maslahat dari situ karena ia lebih mudah untuk berinteraksi dengan musuh dan mengambil berita-berita dari mereka.

Ibnul Qayyim rahimahullah saat bicara tentang pelajaran-pelajaran dari Perang Hunain mengatakan, “Seorang imam (penguasa) boleh meminjam senjata kaum musyrikin dan persiapan perang mereka untuk memerangi musuh, sebagaimana dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminjam baju besi Shafwan bin Umayyah yang waktu itu masih musyrik.

Pendapat ini diikuti oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Memanfaatkan orang kafir dalam beberapa urusan agama tidak tercela, berdasarkan kejadian orang Khuzai”.

Ringkasnya, memanfaatkan orang-orang kafir dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan karena usaha gigih hukumnya boleh dalam Islam. Dalil-dalilnya banyak, sebagian telah berlalu. Dan juga hadits tentang bagi hasil pertanian yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang Yahudi di Khaibar. Mereka mengolah tanah itu dan menanaminya, dan akan mendapatkan setengah bagian dari hasilnya.

Juga seorang Muslim menyodorkan dirinya untuk bekerja kepada orang musyrik, hukumnya boleh selama tidak ada unsur pengagungan agama mereka atau slogan agama mereka atau dalam pekerjaannya ada unsur penghinaan terhadap dirinya.

Sedangkan masalah meminta bantuan kepada mereka dalam peperangan hukumnya boleh, akan tetapi hal tersebut terikat dengan kebijakan penguasa kaum Muslimin, jika memandang ada kemaslahatan untuk memanfaatkan tenaga mereka. Jika tidak, maka hukumnya tidak boleh.

Meskipun demikian, umat Islam tetap wajib untuk waspada dan menghindari pemanfaatan orang-orang kafir dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan kekuasaan seperti menangani urusan administrasi negara. Sebab, pemilihan mereka dalam mengurusi hal tersebut, memuat unsur kejahatan terhadap Islam dan kaum Muslimin, apalagi ada pelanggaran yang jelas terhadap hukum syariat Islam. Begitu juga, ada unsur perendahan nyata bagi kaum Muslimin, termasuk orang-orang yang memandang itu perkara yang hukumnya boleh.

Silahkan telaah sejumlah nash, peristiwa sejarah yang penting yang tampak sekali makar musuh-musuh Allâh terhadap Islam dan kaum Muslimin.

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dengan isnad shahih dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, “Aku berkata kepada Umar Radhiyallahu anhu, “Sesungguhnya aku punya sekretaris seorang Nasrani”. Umar berkata, “Apa-apaan kamu itu?. Tidakkah engkau mendengar Allâh berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah/5:51)

Mengapa engkau tidak mengangkat seorang Muslim saja”. Abu Musa al-Asy’ari menjawab, “Wahai Amirul Mukminin. Saya manfaatkan keahliannya dalam tulis-menulis, sedangkan agamanya tanggungannya sendiri”. Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Aku tidak ingin memuliakan mereka ketika Allâh menghinakan mereka. Aku tidak ingin mengangkat derajat mereka ketika Allâh telah merendahkan mereka. Dan aku tidak ingin mendekatkan mereka kepadaku, saat Allâh telah menjauhkan mereka”. [4]

Umar Radhiyallahu anhu juga pernah mengirim surat kepada Abu Hurairah, yang berisi pesan, “Janganlah engkau meminta bantuan dalam urusan-urusan terkait kaum Muslimin dengan orang musyrik, dan penuhilah maslahat kaum Muslimin oleh dirimu. Engkau itu salah seorang dari mereka, hanya saja Allâh Azza wa Jalla menjadikan dirimu mengemban tanggungan-tanggungan mereka”.

Umar bin Abdil Aziz rahimahullah pernah mengirim edaran surat kepada sebagian pejabatnya, “Sesungguhnya telah sampai kepadaku dalam pekerjaan kalian ada seorang sekretaris yang beragama Nasrani yang menangani kepentingan-kepentingan Islam, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allâh jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. [Al-Maidah/5:57]

Apabila orang ahli kitab itu datang, ajaklah ia (Hassan bin Zaid),  untuk masuk Islam. Apabila ia memeluk Islam, maka ia bagian dari kita dan kita bagian darinya. Bila ia menolak, janganlah engkau meminta bantuan darinya, dan jangan jadikan seseorang yang tidak beragama Islam mengurus urusan kaum Muslimin”. Kemudian Hassan bin Zaid masuk Islam dan menjadi Muslim yang baik.[5]

Tatkala semakin banyak pemanfaatan tenaga Ahli Kitab untuk menangani urusan-urusan kaum Muslimin pada masa khilafah Abbasiyyah, maka tampillah seorang Ulama untuk melakukan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar dalam masalah tersebut. Dialah Syabib bin Syaibah. Ia datang meminta izin untuk menemui Abu Ja’far al-Manshur. Ia pun diizinkan menemuinya. Lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin. Bertakwalah kepada Allâh. Itu adalah wasiat dari Allâh. Kepada kalian datang dan dari kalian diterima, kepada kalian diserahkan pelaksanaannya. Dan tidak ada yang mendorongku untuk mengucapkan ini kecuali ketulusan niat untuk memperbaikimu dan kasih-sayang terhadapmu dan nikmat-nikmat Allâh yang engkau miliki. Rendahkan hatimu ketika mata kakimu telah meninggi. Dan bentangkanlah kebaikanmu ketika Allâh cukupi dua tanganmu.

Wahai Amirul Mukminin, di belakangmu ada api yang menyala-nyala karena perbuatan kezhaliman dan kecurangan yang dilakukan, tidak diamalkan di dalamnya Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Wahai Amirul Mukminin, engkau angkat orang-orang ahli dzimmah untuk berkuasa menangani kaum Muslimin. Orang-orang itu telah menzhalimi dan menganiaya mereka. Orang-orang itu mengambili barang-barang yang tertinggal dan merampas harta-harta mereka. Mereka berbuat curang kepada kaum Muslimin, dan menjadikan dirimu tangga untuk memenuhi nafsu-nafsu mereka. Mereka tidak akan menolong kamu dari Allâh sedikit pun pada hari Kiamat”.

Abu Ja’far al-Manshur berkata, “Ambillah stempel ini, dan kirim kepada orang-orang Islam yang engkau kenali.” Kemudian berkata, “Wahai Rabi’. Tulislah macam-macam jabatan dan pecatlah ahli dzimmah yang menanganinya. Dan orang yang dibawa Syabib kepadamu, beritahukanlah kepada kami tempatnya, agar kami dapat tanda-tangani surat pengangkatannya”. Syabib berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kaum Muslimin tidak mau menemui engkau, sementara orang-orang kafir itu masih bekerja untukmu. Apabila kaum Muslimin menaati mereka, maka sudah membuat Allâh murka. Dan bila kaum Muslimin membuat mereka marah, maka orang-orang itu akan memperdayai dirimu terkait kaum Muslimin. Akan tetapi, dalam satu hari engkau lakukan beberapa kebijakan. Bila engkau angkat seorang Muslim, maka engkau harus mencopot orang kafir”.

Kesimpulan: Sepatutnya dibedakan antara  memanfaatkan orang kafir dalam salah satu urusan pribadi dan memperkerjakan mereka sebagai pemegang kebijakan dalam sebuah negeri Islam.

Yang pertama boleh, karena ada dalil-dalil tentang itu. Sementara, yang kedua, tidak boleh karena bertentangan dengan inti ajaran syariat Islam dan ruhnya serta tujuan asasi syariat Islam, yaitu agar kalimatullah menjadi paling tinggi, sedang agama orang kafir menjadi paling rendah.

Kebaikan sesungguhnya adalah kaum Muslimin bergantung pada diri mereka sendiri sehingga umat Islam menjelma bangsa yang mandiri lagi berbeda, terwarnai oleh karakter rabbani yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla .

Semoga Allâh Azza wa Jalla mendatangkan hari dimana kaum Muslimin kembali kepada agama mereka yang benar dan tidak membutuhkan orang-orang kafir dan seluruh musuh Islam dalam satu pun urusan mereka.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XX/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Badai’u al Fawaid 3/208.
[2] Fathul Bari 4/442
[3] HR. Muslim
[4]  HR. Ahmad
[5] Ahkam Ahli adz-Dzimah 1/124


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9465-hukum-memanfaatkan-jasa-dan-produk-orang-kafir.html